Rabu, 11 Agustus 2010

A. Integrasi dan Akar Masalah

Propinsi Papua dan Papua Barat sejak diintegrasikan dengan Indonesia melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan oleh PBB tahun 1979. Anggapan umum kebanyakan Rakyat Papua selama ini bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) adalah rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Sebab Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin condong ke Blok Timur. Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno, maka Amerika yang ingin mendapatkan dukungan dari negara-negara Asia umumnya dan Asia Tenggara pada khususnya, maka tawarannya Papua dikorbankan kemudian “dititipkan” dulu untuk di kontrol oleh Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak dikemudian hari. Namun proses waktu dan pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalan Papua menjadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, yang sudah lebih dulu masuk, persetujuan izin penambangan sudah lebih dulu ditandatangani pada tahun 1967, sebelum status Papua resmi ditetapkan di dewan PBB tahun 1979 bergabung dengan Indonesia. Kemudian Rakyat Papua selama 45 tahun integrasi (bagi rakyat Papua, aneksasi) dibungkam habis. Tidak boleh ada yang bicara lain selain persoalan Papua dianggap selesai final bagian tak terpisahkan dari Indonesia.



Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring adanya jaminan kebebasan berbicara, rakyat Papua yang dibungkam lama mulai buka mulut dan berbicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Diawali dengan dialog 100 tokoh Papua dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 di Istana Negara Jakarta dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto: pertama, bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan; kedua, bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962; ketiga, bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan; keempat, bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum. Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar