Rabu, 11 Agustus 2010

Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay soal issu adanya gejala genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis Indonesia berusaha melakukan proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan. Itu berarti pembunuhan etnis Papua sebagaimana dilakukan orang-orang bekas narapidana yang datang dari Inggris kini menguasai benua Australia. Suku Asli (Aborigin) kini hanya dijadikan sebagai museum hidup karena proses pemusnahan etnis Suku itu dilakukan orang-orang Anglo-Saxons. Gejala demikian banyak dikatakan para pemuka inteletual Papua sedang dipraktekken oleh kebijakan negara yang tidak seimbang dengan perjanjian Otsus yang ditetapkannya sendiri oleh pemerintah Indonesia. Upaya demikian bukan kebijakan negara namun aparat pelaksana kebijakan di lapangan yang sudah kehilangan akal untuk meredam dan mengatasi hasrat keinginan rakyat Papua mau merdeka bisa saja terjadi dan dibiarkan berlangsung upaya meredam habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika demikian provokasinya para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya menyakut harga diri bangsa Papua untuk mempertahankan hak kedaulatannya saja akan tetapi juga ada hal lain yang lebih hakiki dan mendasar yakni hak bereksistensi diri didunia habitatnya.



Harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa selesai, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme sebagaimana penyelesaian konflik sama di Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian juga harapannya dengan Papua bahwa dengan Otsus, maka konflik separatisme bisa diselesaaikan maka banyak uang dikucurkan didaerah itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 ini. Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat kesana, terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentalilitas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Untuk itu –dan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi dalam membayar pajak negara, misalnya menyebut satu, PT Freeport saja –pemerintah pusat banyak mengucurkan uang dan menganggap itu sudah cukup. Tanpa memikirkan solusi lain dan tidak secara serius atau tidak ada kemauan baik mentuntaskan konflik Papua secara konprehenshif sekaligus. Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.


3। Harapan


1. Sejak terpilih menjadi Presiden RI tahun 2004 silam, SBY datang ke Papua dalam program 100 hari dan melakukan hal-hal menadasar yang itu cukup memberi arti besar bagi kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat. Adalah komitmen besar SBY terhadap penyelesaian kasus Papua. Pertama, Pengesahan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada bulan Desember tahun 2004 dengan PP 54, yang selama tiga tahun terbengkalai, sebagai hadiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar