Dari sinilah pada mulanya konflik berkepanjangan dan berketerusan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Banyak pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada upaya lain Indonesia (mungkin lebih tepat mereka maksudkan Militer Indonesia) melakukan suatu tindakan pembiaran dan sengaja terjadinya proses genosida (punahisasi) etnis Papua baik itu terselubung melalui HIV/AIDS, alcohol, KB, transmigmigrasi maupun secara terencana melalui Otsus Papua banyak mendatangkan militer organik dan non organik ke wilayah Papua. Sehingga ada konfrontasi bersenjata antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.(Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008).
2. Otsus Papua dan Permasalahannya
Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. TPN/OPM di rimba raya Papua juga tak henti-hentinya terus berkonfrontasi dengan TNI/POLRI, dan para pejuang kemerdekaan Papua di pengasingan menggangap bahwa Otsus Papua bukan solusi. Jargon TPN/OPM di rimba raya Papua dan dipengansingan sudah jelas, bagi mereka, Papua Merdeka, harga mati! sebagaimana NKRI, harga mati! bagi TNI/POLRI. Pada selama ini kedua pihak seteru selalu mengganggu aktivitas pembangunan di Papua selam puluhan tahun belakangan ini terutama sejak tahun 1998 dan tahun 2001 desakan hasrat melepaskan diri sangat tinggi dirasakan hingga UU kebijakan Otonomi Khusus No. 21 tahun 1999 dan UU Perimbangan Keuangan No. 25 di kelurkan oleh Pemerintah Pusat. Namun ini bukannya menghentikan hasrat rakyat Papua menghentikan aktifitas gerilya untuk melepaskan diri, malah akhir-akhir ini eskalasinya cukup tinggi terutama menjelang Pemilu tahun 2009.
Dan harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua oleh pemerintah Pusat. Sebelum ini yang terlibat menerima Otsus Papua terlihat hanya Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya pada Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.
Sejak Otsus diterima dengan syarat oleh Presedium Dewan Papua (PDP), maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut hak bereksistensi yang terkait langsung dengan harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Untuk itu dalam UU Otsus No. 21. Tahun 1999 point C disebutkan : “bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri”. Kemudian UU Otsus Bab II tentang lambang-lamabang dalam pasala 2 ayat 2 menyebutkan bahwa : “Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan”. Tapi itu dikhianati oleh pemerintah Pusat dan itu hanya bisa dimengerti oleh Presiden Gus-Dur yang tidak di pahami Presiden Megawati Soekarno Putri, apalagi lebih tidak dimengerti oleh aparat militer Indonesia di Papua. Dan memang ada sesuatu yang benar, jadi baik, dari Gus-Dur dianggap salah oleh Mega sehingga kelihatan kurang cerdas dan itu berlanjut masa pemerintahan SBY-JK terus dibiarkan, misalnya MRP di Pasung, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memaikainya sekarang ini dianggap subversip sehingga ada pasal-pasal karet terorisme, yang siap membungkam atau dengan alasan teroris kapan saja aparat militer Indonesia menangkap, menyiksa, menembak dan bahkan boleh memukul orang Papua sampai mati di penjara. Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui ada dimana, hilang begitu saja tanpa jejak dan pesan kalau dimakamkan dimana dan oleh siapa kita semua tidak pernah tahu adalah warisan Presiden Megawati yang sangat buruk bagi orang Papua. Tapi hal demikian dibiarkan terjadi sepanjang pemerintahan SBY-JK. Dan itu banyak dialami mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua. Demikian ini terus menyisakan luka mendalam bagi beberapa kalangan rakyat Papua.
Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, semuanya terkesan punya orientasi mengekang kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Itu sekedar menyebut beberapa contoh inkonsistensi pemerintah pusat selama Otsus Papua berjalan tidaka ada kemauan baik politik untuk secara konsisten Otsus bisa berjalan baik misalnya UU Otsus BAB XII tentang HAM Pasal 46 yang didalamnya mnyebutkan bahwa : “Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi”. Yang tugasnya : (a). “ melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (b). “merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi”. Tapi itu semua selama 10 tahun terkahir Otsus berlakukan di Tanah Papua sama sekali tidak pernha dijalankan.
Anehnyaakhir-akhir dan itu sejak awal Otsus berjalan mulai terasa ada gejala baru dan lain bersamaan kebijakan Otsus berjalan ini ada dugaan kuat yang sering dikemukakan kalangan intelektual independent Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar