Jumat, 24 September 2010

Surati Kami | Peta Situs | Terjemahkan Situs ini | Tentang Kami




Update Terakhir: Dec 31st, 2006 - 11:01:10






WPNews Versi Iinggris
Kabar VFWPA, Port Vila
Kirim Artikel Lewat Email
Baca Article di-Email
Kabar WPPRO Port Vila


Gen. Mathias Wenda
Dr. J.O. Ondawame
Mr. Andy Ayamiseba
Mr. Moses Werror
Chief www.




Pilih/ Lihat Polling
Daftar/Lihat Buku Tamu








Alamat Surat:
euroPress Desk
c/o 54 Evora Park, Howth, Dublin,
Rep. of Ireland


Petisi/ Surat



___________________________________________________________
PERNYATAAN SIKAP TUJUH SUKU DI PEGUNUNGAN TENGAH PAPUA

(Pemilik Tanah Areal Pertambangan PT. Freeport Indonesia)
___________________________________________________________

Bangsa Papua dipaksakan masuk ke dalam NKRI di bawah bayang-bayang Amerika Serikat hanya karena kepentingan politik dan ekonomi semata. Pemerintah Indonesia mempunyai kepentingan ekonomi dan politik di Papua, sedangkan Amerika Serikat memainkan status Papua hanya demi kepentingan ekonomi semata. Buktinya adalah bahwa sejak tahun 1962 Amerika Serikat melakukan siasat yang jitu untuk mengelabui PBB dan Belanda untuk Papua masuk ke dalam NKRI.

Salah satu siasat yang dimainkan dalam rangka mencaplok Papua ke dalam NKRI adalah proposal Bunker. Proposal tersebut dirancang oleh seorang Amerika Serikat politik kelas kakap. Hasil rancangannya berhasil mempengaruhi Belanda dan PBB. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 telah mengadakan perjanjian New York. Dalam perjanjian tersebut telah menyatakan bahwa status Papua diserahkan ke dalam tangan UNTEA dan ditetapkan bahwa selama 6 tahun UNTEA menyiapkan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan cara “one man one vote” (satu orang satu suara).

Selama satu tahun UNTEA menjadi pemerintahan transisi, orang Papua melakukan berbagai kegiatan, misalnya aksi protes atas tidak menerima pemerintah Indonesia berkuasa di Papuia, akan tetapi bagi mereka yang melakukan tindakan protes diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi, misalnya diintimidasi, terror, diperkosa, dan bahkan dibantai.

Selama satu tahun (antara 15 Agustus 1963-1 Mei 1963), Amerika serikat bermain sedemkian rupa dan berusaha mempengaruhi PBB (UNTEA), akhirnya pada tanggal 1 Mei 1963 Papua yang sedang disengketakan antara Belanda dan Indonesia diserahkan oleh UNTEA kepada negara Indonesia yang juga sebagai pihak sengketa itu. Inilah suatu kelalaian PBB melalui kaki tangannya UNTEA. Anehnya Papua yang sedang disengkatan antara Belanda dan Indonesia, Papua diserahkan kepada Indonesia untuk mempersiapkan bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri. Inilah politik tingkat tinggi yang dimainkan oleh Amerika Serikat hanya demi memperkuat posisi Amerika Serikat dalam bidang ekonomi di Papua.

Tanggal 1 Mei 1963 adalah awal yang baru bagi Indonesia dan Amerika Serikat untuk memainkan satutus Papua menjadi bagian dari NKRI. Banyak cara yang digunakan dalam rangka itu. Salah satu cara yang tidak luput dari ingatan orang Papua adalah sejak tahun 1967 sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang dikenal dengan nama “PEPERA”; pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah menandatangi MoU tentang pengeksploitasian tambang Emas dan Tembaga di Timika.

Ini aneh, status Papua yang belum ditentukan melalui penentuan nasib orang Papua, pemerintah Indonesia berani melakukan perjanjian MoU antara Amerika dan Indonesia tantang rencana pengekpolitasian tembaga dan emas. Dengan demikian sejak tahun 1967 PT Free Port sudah mulai dioperasikan oleh Amerika Serikat. Akhirnya melalui berbagai rekayasa, intimidasi, terror dan berbagai pelanggaran HAM yang serius, pemerintah Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat memaksa 1025 orang untuk mewakili orang Papua lain memilih Papua adalah bagian wilayah NKRI.

Sejak tahun 1967 tujuh suku, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang mendiami di sekitar pertambangan PT Freeport mengalami kerugian fatal, baik lingkungan, flora dan fauna serta manusia Papua dikorbankan. Hanya demi mengambil emas dan tembaga itu Pesona alam dan pesona manusia dikorbankan. Pemilik tanah adat menderita di atas kekayaan alam, sementara para perantau yang baru datang hanya untuk mempertahankan hidup sambil menguras kekayaan alam Papua, menari-nari di atas hasil penjualan emas dan tembaga.

Orang Papua, khususnya tujuh suku miskin dan terlantar. Hidup kami terlantar karena lingkungan kami telah dihabisi oleh mesin-mesin raksasa ulah manusia sekarah yang tidak menghargai pesona manusia dan alam. Dari tahun 1967 kami tujuh suku, terlebih suku Amungme dan Komoro mengalami dampak negatif yang membawa ancaman terhadap hak hidup.

Kasus Timika Berdarah pada tanggal 21 adalah merupakan salah satu peristiwa kelabu dari sekian ribu kasus yang terjadi dari sejak PT Free Port beroperasi di Timika. Pelaku penambakan adalah TNI, Brimob dan Kapolsek Timika. Korban kasus Timika berdarah terdiri dari lima orang, yakni Yulian Murib meninggal dunia setelah sebuah peluru menembusi dahi - kepala, Melianus Murib kena tembakan di perut dan 3 orang di antaranya identitasnya tak bisa diketahui oleh pihak korban karena rumah sakit “hospital 68” yang sedang menjalani perawatan diblokir oleh aparat TNI, Brimob dan POLRI.

Kami orang Papua, khususnya tujuh suku pemilik hak ulayat tidak mau korban lagi di atas negeri kami sendiri; kami tak mau tempat tinggal kami dirusakkan, kami tak mau kekayaan kami diambil, kami tidak mau menderita lagi di atas tanah kami sendiri, kami tidak mau mati lagi, kami tidak mau ditipu dan dibodohi lagi; kami tidak mau kasih makan Indonesia, Amerika dan negara lain lagi.

Kami orang Papua, khususnya tujuh suku mengatakan pada kesempatan ini: CUKUP, CUKUP DAN CUKUP SUDAH, kami orang Papua, khususnya tujuh suku menjamin dunia dari hasil Tambang Emas dan Tembaga. CUKUP, CUKUP DAN CUKUP SUDAH, demi mengambil emas Papua, kalian telah dan sedang mengorbankan MAS Papua.

Maka, kami tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat menyatakan dan menyerukan kepada pimpinan PT Freeport, Negara Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat serta Belanda bahwa:

1. Kami pemilik hak ulayat berkomitmen bahwa kami yang masih hidup tetap memblokir PT. Freeport selama berhari-hari sampai Tom Beanal, James Moffet dan para pemegang SAHAM bersama Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat mengadakan dialog bersama dengan tujuh suku sebagai pemilik hak ulayat untuk mencabut MoU tentang PT Freeport dan memberhentikan pengeksploitasian Tambang Emas dan Tembaga.
2. Mendesak kepada MRP dan DPRP segera mengadakan Sidang Paripurna demi menetapkan Dialog Nasional dan Internasional; selanjutnya MRP dan DPRP mendesak Pemerintah Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat segera melakukan Dialog Nasional dan Internasional untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh, utuh dan tuntas.

3. Kami tujuh suku menyeruhkan kepada suku-suku lain di Papua bahwa segera menyatukan barisan perlawanan dalam mendukung penutupan Freeport yang didorong oleh tujuh suku pemiilik hak ulayat dan mendesak lembaga-lembaga terkait (DPRP dan MRP) mendorong Dialog Nasional dan Internasional untuk membicarakan berbagai masalah di Papua secara konprehensif

4. Sebelum pihak PT. Freeport (James Moffet), pemilik Saham, Indonesia dan Amerika Serikat tidak membuka dialog dengan tujuh suku pemilik hak ulayat dan membuka Dialog nasional dan Internasional dengan orang Papua, maka kami tujuh suku bersama dengan suku-suku asli lain di Papua berkomitment bahwa kami akan mempertaruhkan nyawa kami untuk memblokir PT Freeport Indonesia sampai pihak-pihak yang melacurkan diri (Indonesia, Amerika, Belanda dan PBB) datang dan duduk bersama dengan Massa rakyat Papua dalam penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh, utuh dan tuntas berdasarkan prinsip demokrasi, hukum, keadilan, kebenaran dan bermartabat.

5. Apabila Tuntutan kami tidak ditanggapi, maka kami akan memboikot Pilkadasung Gubernur/Wakil Gubernur Papua Periode 2006-2011 tanggal 10 Maret 2006 melalui Mogok Sipil Nasional Papua. Pilkadasung tidak ada artinya kalau Rakyat Papua terus dibantai diatas tanah leluhurnya sendiri.

Demikianlah pernyataan dan seruan kami untuk diperhatikan dan diperiksa.

Port Numbay, 25 Februari 2006

Atas Nama Ketujuh Suku Pemilik Hak Ulayat
(Tokoh Masyarakat)


THADEUS KWALIK
______________________
Untuk Informasi Detail tentang Publikasi ini, silahkan menghubungi Selpius Bobii (Sekjen Front Pepera Papua Barat) Mobile : +62 81 343 118 143. Selpius Bobii dipercayakan sebagai Juru Bicara Ketujuh Suku.

© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Email this article
Printer friendly page






JAYAPURA—-Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) minta kepada pemerintah daerah Kabupaten Puncak Jaya untuk meninjau kembali deadline 28 Juni 2010 yang diberikan kepada Tentera Pembebasan Nasional (TPN)/Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk menyerahkan diri dan menyerahkan senjata api hasil rampasan kepada aparat. Hal ini diungkapkan anggota DPRP asal Pegunungan Tengah Deerd Tabuni SE MSi saat dikonfirmasi Bintang Papua di Gedung DPRP, Jayapura, Selasa (18/5) menyikapi dan menanggapi pernyataan Bupati Kabupaten Puncak Jaya dan pimpinan DPRD Kabupaten Puncak Jaya agar TPN/OPN menyerahkan diri sekaligus menyerahkan senjata api rampasan selambat lambatnya 28 Juni mend atang


W,MR,WENDANAK


Yogyakarta 24- 09-/2010
Dikatakan, pihaknya mempertanyakan sejauh mana pendekatan yang dilakukan Pemda Kabupaten Puncak Jaya terhadap TPN/OPM yang ada di wilaya Puncak Jaya. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kelompok TPN/OPM di Puncak Jaya masing masing kelompok Goliat Tabuni, Kelompok Marunggen Wonda, Kelompok Anton Tabuni serta kelompok Telengen. “Apakah kelompok kelompok ini telah dikoordinasi dengan baik atau belum,” ujar Deerd Tabuni. “Kami kwatirkan dengan keadaan pada deadline itu terjadi maka akan terjadi pertumpahan darah yang meminta korban yang lebih besar terhadap masyarakat di Puncak Jaya.” Karena itu, lanjut Deerd Tabuni, demi kebersamaan baik dari pemerintah Kabupaten Puncak Jaya maupun Pemerintah Provinsi Papua harus ada pertemuan untuk membuka ruang dialog menyangkut serangkaian peristiwa yang terjadi di Puncak Jaya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar